Akal manusia...

        

            Berawal dari satu kisah yang kita lalui, pastinya setiap orang akan menyempatkan diri bertanya ketika merenungkan perstiwa apa yang telah menimpanya kala itu. Manusia ibarat barang-barang elektronik yang butuh energi untuk bisa tetap bertahan hidup. Energi yang cukup akan membuatnya bertambah kuat menjalani kehidupan. Ada kalanya barang elektronik itu lupa diisi dayanya sehingga menyebabkan dia terkulai lemas tak berdaya diatas pembaringannya. Ada kalanya dia juga terlalu panas sehingga seisi tubuhnya mengalami gangguan. Dia menjadi semakin lambat karena umur dan aktifitasnya yang jarang beristirahat setiap harinya. Dan inilah manusia, segala pelik kehidupan pasti dilalui. Hanya orang gila saja yang tak pernah memikirkan tentang apa yang pernah dilakukan. Dan yang lebih gila lagi adalah orang yang mengaku diri waras tapi menganggap orang gila lebih waras daripada dirinya. Bahkan dia menganggapnya sebagai orang yang berkedudukan tinggi. Orang seperti ini, biasanya dalam kehidupannya selalu mengikuti apa kata orang. Sehingga ketika ada cerita yang membuat dia takjub, dia pun buru-buru mempercayai dan menimbangnya pada dirinya. Sama hal ketika ada yang mengatakan si fulan ini begini, dia pun langsung percaya.

            Manusia memiliki keunikan sendiri, dia bisa berfikir bahkan tentang hal yang tidak dia punya ilmu atasnya. Dia menimbangnya dengan dirinya sendiri. Dia ditanya tentang Tuhannya, dia pun akan berfikir sesuai kadar keilmuannya. Pada sisi ini dia masih selamat sebagai seorang manusia. Tetapi kadang mereka berfikir di luar batas kemampuannya (ilmunya) dan menimbang-nimbang tentang Tuhannya sesuatu yang ada pada dirinya. Dia beranggapan bahwa apa saja yang menjadi sifat makhluk maka tidak boleh dimiliki oleh Sang Khaliq (Pencipta). Allah mengabarkan bahwa Diri-Nya memiliki sifat Rahman (Kasih Sayang), maka dengan timbangan dia Allah seharusnya tidak memiliki sifat ini karena tidak ada yang serupa dengan Allah. Jadilah dia menetapkan sifat bagi Allah hanya terbatas ilmunya saja. Pada sisi yang lain, sebagian dari mereka masih menetapkan sifat Rahman bagi Allah, karena sifat ini masih bisa mereka nalar dengan kepala mereka. Kasih sayang Allah berbeda dengan kasih sayang makhluk (ini pasti), dan mereka meyakini itu. Sehingga tidak ada sesuatu apa pun di alam ini yang serupa dengan Allah. Tapi ada satu sifat, yang berkaitan dengan perbuatan Allah yang mereka tidak bisa cerna dengan akal pikiran mereka. Sifat perbuatan itu contohnya seperi Allah mengadzab hamba-Nya yang berbuat dosa, Allah memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, dan sifat yang lainnya.

            Mereka sangat girang sekali dan semakin menggebu-gebu menyalahkan orang lain. Mereka lupa dengan semboyan mereka, "jangan suka menyalah-nyalahkan, membid'ah-bid'ahkan orang, mengkafir-kafirkan orang". Tapi ketika yang melakukannya dia sendiri, semua lenyap tertelan zaman.

            Allah turun ke langit dunia setiap sepertiga malam, Allah bersemayam di atas Arsy adalah sifat yang mereka tidak tetapkan karena keterbatasan akal mereka dalam memahaminya. Jika Allah turun ke langit dunia setiap sepertiga malam, berarti Arsy kosong dong. Bumi ini kan bulat, sepertiga malam itu terjadi hampir setiap detik. Begitulah celotehan mereka. Sebelum kita uraikan letak kesalahan pemikiran mereka, tahukah anda bahwa matahari setiap malam itu sujud kepada Allah di bawah Arsy-Nya. Dia tetap seperti itu sampai Allah memerintahkannya bangun dan kembali ke tempat peredarannya dan terbit dari arah timur. Jadi, matahari tiap malam menghadap kepada Allah, terus sampai seperti itu setiap malamnya. Kabar ini ada di Hadits riwayat Imam Bukhori dan Muslim, silahkan dicari. Jika cara berfikirnya seperti yang kita uraikan diatas, maka hadits tentang ini juga seharusnya mereka tidak yakini.

          Permasalah ini adalah permasalahan yang sederhana, ilmu kita ini terbatas. Ada hal-hal yang kita tidak bisa menjangkaunya dengan akal kita. Jangankan tentang Allah, tentang sesama makhluk saja kita banyak tidak mengetahui. Bagaimana cara hewan beribadah? Bagaimana cara mereka saling berkomunikasi satu sama lain? Atau tentang sesama manusia, pernahkah kita tahu apa yang dipikirkan oleh istri kita, anak kita saat ini? Atau tentang tubuh kita, bagaimana jantung ini bisa tetap berdetak setiap detiknya tanpa istirahat? Bahkan terus seperti itu sampai kita meninggal dunia. Inilah ciptaan Allah.

          Allah tentang hal ini banyak mengisyaratkan kepada kita untuk merenungi ciptaan-Nya. Bahkan Dia pun bersumpah dengan ciptaan-Nya. “Demi waktu Duha” Demi Langit, Demi Gunung-gunung” dan lainnya. Ada apa dengan mereka, mengapa Allah bersumpah dengan mereka?

          Permasalahan ini menjadi semakin ruet, rumit ketika muncul orang-orang yang cara berfikirnya terkalahkan oleh akalnya yang terbatas. Kacamata yang ia pakai buram tertutup debu. Hidungnya pun dipenuhi lender-lendir yang mengandung banyak virus sehingga orang lain pun tertular dan mengikuti cara atau gaya berfikir mereka. Mereka adalah kelompok yang mengatakan Allah ada dimana-mana, Kelompok yang mengatakan Allah bersatu dengan makhluk, Kelompok yang mengatakan Allah tidak dimana-mana, dan Kelompok yang mengatakan Allah itu tidak ada. Semuanya bermuara dari pemikiran yang sempit tentang keberadaan Allah. Ada yang berlebihan dan ada yang meremehkan. Dan sejatinya Ahlus-sunnah mereka berada dipertengahan.

          Berawal dari pertanyaan ; “Dimana Allah?”

Jawabannya adalah sesuai dengan jawaban seorang budak yang ditanya oleh Nabi, yaitu di langit.

Langit itu dimana? Di atas langit atau di langit? Jika di langit berarti Allah menyatu dengan langit? Jika di langit berarti Allah lebih kecil daripada langit, seperti ucapan bola itu berada di keranjang (melazimkan bahwa bola lebih kecil daripada keranjang)?

Maka kita jawab, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu….. Ketika Anda menjawab Allah itu di langit bukan berarti melazimkan Allah bersatu dengan langit. Tapi menunjukkan ketinggian Dzat Allah yang Tinggi di atas semua makhluk-Nya. Langit adalah penggambaran makhluk Allah yang paling tinggi di antara kita. Maka sering kita bilang “Jauh panggang dari api bagai langit dan bumi” dalam pernyataan ini bisa kita katakana bahwa langit adalah penggambaran makhluk yang paling tinggi dan bumi adalah penggambaran makhluk yang paling rendah.

Jika Allah di langit bukan berarti Allah menyatu dengan langit, minyak saja tidak mungkin menyatu dengan air. Bukan juga melazimkan Allah lebih kecil daripada langit. Apalagi jika kita mengetahui bahwa Allah adalah Maha Besar. Secara akal manusia, rumah itu pasti lebih besar daripada pemilik rumah. Karena rumah memiliki 3 fungsi untuk manusia, tempat berteduh, berlindung dari gangguan, dan tempat beristirahat. Sesuai fungsi itu, maka selayaknya rumah itu harus lebih besar dari pemiliknya. Sedangkan Allah, tidak membutuhkan fungsi-fungsi itu untuk diri-Nya. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan segala sesuatu itu bergantung kepada-Nya. Sampai disini tahulah kita bahwa akal kita ini terbatas, maka membayangkan tentang Allah tidak bisa hanya bermodal akal manusia, melainkan dengan wahyu, kemudian kita tetapkan pengkabaran itu sesuai wahyu yang diturunkan tanpa merubah lafaz, membagaimanakan, apalagi menyerupakan-Nya dengan makhluk.

          Rumah adalah tempat seorang tinggal/menetap. Setiap orang yang tinggal di dunia ini pasti membutuhkan rumah. Tapi tidak dengan Allah, Allah memiliki tempat tapi Dia tidak butuh dan bergantung dengan tempat tersebut. Lalu apa tujuan Allah menciptakan tempat-Nya jika Allah tidak butuh dengan tempat tersebut? Pertanyaan ini sama seperti perkataan, “buat apa Allah memerintahkan kita beribadah, bukankah Allah tidak butuh dengan ibadah kita?” Semua itu ada hikmahnya tersendiri yang hanya Allah yang tahu tujuannya. Sebatas pengetahuan kita sebagai makhluk, Allah menciptakan kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Ada Tuhan maka ada pula hamba yang menyembah. Ada kebaikan ada pula keburukan. Semua seimbang satu sama lainnya. Allah juga menciptakan manusia berpasang-pasangan. Semua Allah ciptakan berpasang-pasangan, sedangkan Dia adalah satu, Dzat yang Esa yang tidak ada sekutu baginya.

          Berbicara tentang keMaha Kuasaan Allah harus kita kesampingkan akal yang sempit ini menuju wahyu yang penuh dengan ilmu dan bashirah. Umur yang kita miliki ini sejatinya kita pergunakan untuk kembali kepada akal yang selamat sebagai manusia. Gunakan untuk memikirkan penciptaan alam ini, untuk apa kita hidup di dunia. Merenungkan kekuasaan Allah yang Maha Luas supaya hidup ini tidak melulu tentang pernak pernik kehidupan yang membosankan itu. Hidup dari setetes air mani yang berubah menjadi daging. Bangun dalam keadaan telanjang dan menangis tanpa kemampuan. Makan, tidur, bekerja lalu mati. Betapa banyak kelalaian dan kekhilafan.

         Semoga menjadi perenungan...

 

 

 

Komentar